Al-Mukhbitin
Dalam rangkaian ayat-ayat ibadah Haji dan Qurban, Allah swt memberi informasi ada orang-orang yang diberi gelar al-Mukhbitin; mereka adalah orang-orang beriman yang benar-benar tunduk dan sangat patuh kepada Allah swt sehingga semua amal ibadahnya diterima oleh Allah swt. Bagaimanakah karakteristik mereka dalam kehidupan dunia? Apakah kita termasuk kepada gelar yang dimaksud?
Al-Mukhbitin merupakan gelar dari Allah swt bagi orang-orang yang diterima amal ibadahnya dikarenakan ketundukan dan kepatuhannya yang total kepada-Nya. Mereka diberitakan akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, Allah swt berfirman;
...وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ﴿٣٤﴾ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ …
... _Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh kepada Allah (al-Mukhbitin), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allah, hati mereka bergetar, mereka sabar terhadap musibah yang menimpa, mendirikan shalat dan menginfaqkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka (QS. al-Hajj [22] : 34-35).
Al-Mukhbitin berasal dari kata al-Khabtu atau al-Ikhbât. al-Khabtu menurut pengertian bahasa bermakna permukaan tanah yang luas dan tenang, semacam lembah yang dalam, luas, sunyi, dan terhampar. Atas dasar ini, Ibn 'Abbâs ra mengartikan lafazh al-Mukhbitin dalam ayat ini sebagai _Mutawâdli’în_; orang-orang yang merendahkan diri (tawadlu'). Begitu pula ad-Dlahhak dan Qatâdah.
Sedangkan menurut Mujâhid, al-Mukhbitîn artinya adalah _Muthma`innin_; orang-orang yang hatinya merasa tenang/tentram bersama Allâh swt. At-Tsauri berpendapat al-Mukhbitîn maknanya adalah orang-orang yang tenang (sakinah), ridla, lapang dada terhadap taqdir Allâh swt, senantiasa berserah diri kepada-Nya (tawakkal). Menurut al-Akhfasi, al-Mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’ (khasyi'un). Menurut Ibrahim an-Nakhâ’i, artinya orang-orang yang mendirikan shalat dengan ikhlash (mukhlishin). Sedangkan menurut al-Kalbi, artinya adalah orang-orang yang berhati lembut (lathif).
Dengan demikian kita bisa rasakan dari pengertian-pengertian secara bahasa ini, sebuah lembah sunyi nan tenang, menghampar luas di depan mata. Ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesyahduan yang akan kita rasakan. Persis seperti apa yang dikatakan penulis kitab Manâzilus-Sâ’irîn, _Ikhbât ini merupakan permulaan dari ketentraman_.
Derajat al-Mukhbitin tidak serta merta dapat diraih oleh setiap orang-orang yang beriman. Ketenangan hati seorang mukmin, keikhlasannya, kerendahhatiannya, kesantunannya, kekhusyuannya, kelapangan dadanya, tidaklah sembarang orang yang bisa mencapainya. Allâh swt meletakan kriteria dan usaha tertentu untuk bisa mencapainya.
Orang-orang dengan sifat dan perilaku ikhlash, khusyu’, santun, tenang, rendah hati adalah sebuah hasil dari usaha yang berkesinambungan dengan apa yang disebutkan oleh Allâh swt dalam ayat yang ke-35 di atas, dan menjadi semacam syarat dan kriteria pencapaian derajat al-Ikhbât. Dimana disebutkan kriterianya sebagai berikut;
*Kriteria Pertama*; Jika disebut nama Allâh, hatinya bergetar.
Allah swt berfirman tentang orang-orang beriman,
الَّذِينَ إِذَا ذُكَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
_Yaitu orang-orang yang jika disebut nama Allâh, hati mereka bergetar_ (QS. al-Hajj [22] :35).
Al-Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar takut karena mengingat kekuasaan dan hukuman Allâh swt, atau merasa melihat-Nya. Al-Wajal berdekatan maknanya dengan al-Khauf dan khasyyah karena bergetarnya hati jika disebut nama Allâh swt berkonsekuensi khasyyah dan khauf kepada Allâh swt. Takut dan khawatir jika amal-amal kebaikannya tidak diterima Allâh swt. Bergetarnya hati, takut dan khawatirnya jika amal-amal yang tidak diterima Allâh swt tersebut bisa mengakibatkan azab dan siksa.
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُون
َ_Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka_ (QS. al-Mu’minûn [23] : 60).
Al-Wajal, khauf dan khasyyah selalu ada dalam hati al-Mukhbitin. Namun ini bukan berarti al-Mukhbitin selalu gundah dan khawatir dalam hidupnya. Ini juga tidakbertentangan dengan Firman
Allâh swt;
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
_Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allâh-lah hati menjadi tenteram_ (QS. ar-Ra’d [13] : 28)_
*Kriteria Kedua*; Sabar terhadap apa yang menimpa.
Allâh swt berfirman;
وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ
_Dan orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka_ (QS. al-Hajj [22] :35).
Mereka bersabar menghadapi kesusahan dan kesempitan serta berbagai macam gangguan. Mereka tidak berkeluh kesah dan tidak mencela apa yang menimpa mereka. Mereka bersabar demi mendapat ridla Allâh swt, senantiasa berharap dan menanti-nanti pahala dari-Nya.
Sabar secara bahasa adalah al-habsu, yaitu menahan jiwa dari sedih dan gelisah; menahan diri dari rasa sedih dan gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan.
Sabar adalah menahan jiwa dalam tiga keadaan:
1. Sabar dalam menjalankan keta'atan kepada Allâh swt
2. Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allâh swt
3. Sabar atas cobaan dari Allâh swt
Sabar dalam menjalankan keta'atan kepada Allâh swt adalah yang terberat, karena keta'atan berat dirasakan oleh jiwa, dirasakan sulit oleh manusia. Keta'atan bisa jadi juga terasa berat dilaksanakan oleh anggota badan, juga terasa berat karena harus mengeluarkan sejumlah harta seperti dalam menunaikan zakat dan haji. Ini tentunya membutuhkan kesabaran dan ketegaran dalam menjalankannya.
Menurut Ibn Taymiyah sabar dalam melaksanakan keta'atan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan keta'atan lebih disukai Allâh swt daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan akibat meninggalkan perbuatan ta'at lebih dibenci Allâh swt daripada keburukan akibat perbuatan durhaka. Juga karena meninggalkan kemaksiatan penyempurna keta'atan. Kesabaran yang ditampakan dan dilakukan oleh manusia harus karena Allâh swt, karena cinta kepada-Nya dan dalam rangka mencari ridla-Nya. Bukan bertujuan menampakan kehebatan dan kekuatannya, juga bukan mencari pujian.
Al-Mukhbitin mempunyai sifat seperti ini, sabar menghadapi kesusahan dan musibah yang menimpa mereka, dengan tetap menta'ati perintah Allâh swt dengan penuh ikhlash, ridla, dan berharap pahala dari Allâh swt. Mereka menahan diri dari sedih dan gelisah, cemas dan amarah. Mereka menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan. Al-Mukhbitin akan senantiasa tenang dan tegar dalam menghadapi musibah, rendah hati dan selalu introspeksi diri. Bagaikan suatu lembah yang luas, sunyi, tentram dan tenang.
Lalu bagaimana caranya agar orang-orang yang terkena musibah bisa tetap tenang dan ridla, bisa tetap menahan cemas, amarah dan keluh kesah? Caranya adalah dengan tetap mengharap pahala dan berharap dosanya bisa terhapus dengan sebab musibahnya. Kemudian tidak terlalu memikirkan musibah itu dengan cara mengingat-ingat betapa besar nikmat yang telah diberikan Allâh swt kepada kita serta selalu yakin bahwa Allâh swt akan menurunkan rahmat sebagai jalan keluar dari musibahnya itu.
Allâh swt berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
_Siapa yang bertaqwa kepada Allâh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya_ (QS. at-Thalâq [65] : 2-3)
Oleh karena itu, tidak heran jika Allâh swt menjanjikan pahala yang tidak terhingga bagi orang-orang yang sabar,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
_Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas_ (QS. az-Zumar [39] : 10).
*Kriteria Ketiga* : Mendirikan shalat.
وَالْمُقِيمِي الصَّلَاة
ِ_Orang-orang yang mendirikan shalat_ (QS. al-Hajj [22] : 35).
Shalat adalah ibadah yang teragung. Ibadah ini memiliki pengaruh besar bagi keshalihan pribadi seseorang, seperti yang di firmankan Allâh swt;
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
_Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Qur’ân) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lain). dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan_ (QS. al-Ankabut [29] : 45).
Al-Mukhbitin ialah orang-orang yang senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dalam keadaan apapun. Musibah sebesar apapun tidak bisa mempengaruhi keta'atan mereka dalam menjalankan shalat. Dalam ayat ini Allâh swt menggunakan kata al-Muqîmîsh-Shalat dan tidak menggunakan kata kerja yuqîmus-shalat sebagai isyarat bahwa mereka menjalankan shalat dalam keadaan apapun karena kecintaan mereka yang sangat mendalam terhadap shalat. Kecintaan mereka begitu terpatri dalam hatinya dan senantiasa takut lalai dalam menjalankannya, seakan-akan mereka selalu merasa dalam keadaan melaksanakan shalat, dengan kekhusyuan, thuma’ninah, dan kerendahhatian, yang selalu tergambar dalam kesharian mereka di dalam maupun di luar shalat.
*Kriteria Keempat* : Menafkahkan Sebagian Rezeki.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون
َ_Dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka_ (QS. al-Hajj [22] : 35).
Infaq atau nafkah dalam ayat ini mencakup semua infaq, baik yang wajib seperti zakat, kafârat, dan nafkah keluarga, juga mencakup shadaqah. Al-Mukhbitin senantiasa berinfaq di jalan Allâh swt, meski dalam kesulitan. Inilah seutama-utama shadaqah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى،
_Dari Abu Hurairah ra, bahwasannya ada seseorang datang kepada Rasûlullâh saw dan bertanya, “Ya Rasûlullâh, shadaqah apakah yang paling utama? Rasûlullâh saw menjawab, ”Engkau bershadaqah dalam keadaan sehat, dalam keadaan ingin menahan-nahan harta karena takut miskin dan sangat berharap kekayaan"_.
Shadaqah menjadi sebab dari kelapangan dada. Orang-orang yang senantiasa hidupnya bermanfa'at bagi orang lain, senantiasa berbuat baik kepada sesama, dan dermawan adalah orang-orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa dan hatinya.
Jadi, al-Mukhbitin adalah orang-orang yang dikriteriakan oleh Allâh swt diatas, serta di tafsirkan dan digambarkan oleh para ulama dengan penggambaran yang sangat indah yang bisa dirasakan oleh orang-orang yang mengerti maknanya secara bahasa. Orang-orang dengan ketentraman, ketenangan, kelapangan dada, kerendahhatian, kesalihan pribadi, sopan santun, akhlaqul-karimah, keyakinan dan iman yang kokoh, adalah sebuah kesan yang akan kita rasakan jika kita bertemu dengan al-Mukhbitin. Dan segala kelebihan di atas bisa diraih oleh mereka karena telah melampaui apa yang dikriteriakan oleh Allâh swt tentang mereka.
Semoga kita termasuk golongan al-Mukhbitin. Semoga ilmu yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, tawadlu’ dan khusyu’; Menjadikan kita mempunyai sopan santun dan tatakrama yang mengesankan. Ilmu yang kita miliki membawa diri kita sabar, ikhlash dan ridla. Membawa hati kita dipenuhi getar takut jika mendengar ayat-ayat Allâh swt. Aamiin
Wal-'Llahul-Musta'an
Komentar
Posting Komentar