Kesederhanaan Hidup Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
Rasulullah saw adalah manusia termulia di dunia dan akhirat. Kehidupan beliau sangat sederhana dan jauh dari hidup berlebihan dan bermewah-mewahan (hedonis/takatsur); mulai dari rumah, tempat tidur, pola makan dan alas kaki (sandal) beliau semuanya sangat sederhana. Jauh berbeda dengan kebanyakan dari sebagian umatnya hari ini yang hidup hedonis/takatsur; berlebihan-lebihan dan bermewah-mewahan dalam urusan dunia bahkan tidak sedikit yang menempuhnya dengan jalan yang haram (riba). Pantas jika Allah swt menjelaskan bahwa memang hedonis/takatsur itu kebanyakannya selalu melalaikan dan menjadi penyebab utama manusia banyak masuk neraka.
Rasulullah saw adalah tokoh agama, pemimpin umat, seorang khalifah, manusia terbaik, as-Shadiqul-Mashduq (orang yang benar dan dibenarkan oleh Allah swt). Namun apakah kehidupan beliau bergelimang harta dan kemewahan? Ternyata tidak demikian. Sebaliknya kehidupan beliau sangat-sangat sederhana dan bersahaja. Kita akan simak riwayat-riwayat berikut ini yang menunjukkan betapa sederhananya kehidupan beliau.
*Rumah Rasulullah saw*
Rumah Rasulullah saw sangat sederhana, jauh dari kata mewah, megah dan luas. Tidak banyak perabotan rumah tangga mewah di rumah beliau, yang ada hanya perbotan alakadarnya saja.
Jika beliau sedang shalat tepatnya ketika sujud, 'Aisyah ra seringkali melipatkan kakinya karena kepala beliau selalu mengenai kaki 'Aisyah ra; saking sempitnya rumah beliau. Kata 'Aisyah ra;
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
“Ketika aku tidur di depan Rasulullâh saw yang sedang shalat, kedua kakiku tepat di arah kiblat. Jika beliau hendak bersujud, beliau menyentuhku dengan jarinya, lalu aku menarik kedua kakiku (melipatkannya). Jika beliau telah berdiri, aku meluruskan kedua kakiku” (Shahih al-Bukhari no. 382 & Shahih Muslim no. 512).
*Tempat Tidur Rasulullah saw*
Tempat tidur yang digunakan Rasulullah saw sangat sederhana; terbuat dari kulit yang diisi oleh sabut atau dedaunan. Dari Aisyah ra beliau mengatakan,
كان فِراشُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من أدَمٍ، وحَشوُه من لِيفٍ
“Tempat tidur Rasulullah saw dari kulit yang diisi dengan sabut” (Shahih al-Bukhari no. 6456 & Shahih Muslim no. 2082).
Terkadang juga beliau juga tidur di atas tikar yang terbuat dari dedaunan, sehingga berbekas di kulit beliau jika tidur di atasnya.
Umar ra pernah langsung melihat bagaimana kondisi tempat tidur Rasulullah saw, kata Ibn Abbas;
دَخلَ عمرُ بنُ الخطَّابِ رضيَ اللَّهُ عنهُ علَى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ وَهوَ علَى حَصيرٍ قد أثَّرَ في جنبِهِ فقالَ: يا رَسولَ اللَّهِ، لوِ اتَّخذتَ فِراشًا أَوثرَ مِن هذا فقالَ: ما لي ولِلدُّنيا وما لِلدُّنيا وما لي، والَّذي نَفسي بيدِهِ ما مَثَلي ومَثَلُ الدُّنيا إلَّا كَراكبٍ سارَ في يَومٍ صائفٍ فاستَظلَّ تحتَ شَجرةٍ ساعةً من نَهارٍ ثمَّ راحَ وترَكَها
“Umar Ibn Khattab pernah datang ketika beliau sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau. Sontak Umar pun berkata: “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani (kasur empuk) tentu lebih baik dari tikar ini”. Maka beliau pun bersabda: “Apalah artinya dunia untukku? Permisalan antara aku dengan dunia bagaikan seorang yang berkendaraan menempuh perjalanan di siang hari yang panas terik, lalu ia mencari teduhnya di bawah pohon beberapa saat di siang hari, kemudian ia istirahat disana lalu meninggalkannya” (Sunan at-Tirmidzi 2/60, Mustadrak al-Hakim 4/310, Sunan Ibn Majah 2/526. dishahihkan al-Albani dalam Silsilah as-Shahihah 1/800).
Artinya Rasulullah saw menyadari bahwa hidup di dunia hanya sebentar saja, seperti pengendara yang beristirahat sejenak di bawah pohon.
*Pola Makan Rasulullah saw*
Malik Ibn Dinar ra, beliau mengatakan:
مَا شَبِعَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُبْزٍ قَطُّ وَلاَ لَحْمٍ إِلاَّ عَلَى ضَفَفٍ
“Rasulullah saw tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti atau kenyang karena makan daging, kecuali jika sedang menjamu tamu” (Sunan at-Tirmidzi dalam as-Syama`il no. 70, dishahihkan al-Albani dalam Mukhtashar as-Syama`il al-Muhammadiyah no. 109).
Biasanya dalam dua atau tiga hari sekali beliau dan keluarganya baru bisa merasakan makan kenyang. Itu pun sekedar makan roti gandum, bukan lauk pauk dan daging. Artinya kenyang pun dengan memakan makanan yang sangat sederhana.
*Sendal Rasulullah saw*
Sandal Rasulullah saw bukanlah sandal para raja dan kaisar. Namun sekedar semacam sandal jepit biasa yang terbuat dari kulit.
Dari Anas Ibn Malik ra, beliau mengatakan:
أنَّ نعلَي النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ كان لهما قِبالانِ
“Sandal Nabi saw memiliki dua tali ikatan (seperti sandal jepit)” (Shahih al-Bukhari no. 5857).
Dengan demikian sangat jelas kesederhanaan dan kebersahajaan hidup Rasulullah saw terbukti dari pernyataan istri dan shahabat beliau. Jauh dari kata hedonis/takatsur; tidak bermewah-mewahan dalam masalah acessoris duniawi.
Pantas jika dalam QS. at-Takatsur, Allah swt mengingatkan agar manusia tidak hidup hedonis/takatsur; berlebihan-lebihan, bermewah-mewahan dalam memperbanyak harta dan kekayaan sehingga lalai dari aturan Allah swt. Hidup seperti ini sangat berbahaya karena menyebabkan hisab yang berat dan diancam dengan neraka Jahim.
اَلۡهٰٮكُمُ التَّكَاثُرُۙحتّٰى زُرۡتُمُ الۡمَقَابِرَؕ, كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَۙ, ثُمَّ كَلَّا سَوۡفَ تَعۡلَمُوۡنَؕ, كَلَّا لَوۡ تَعۡلَمُوۡنَ عِلۡمَ الۡيَقِيۡنِؕ, لَتَرَوُنَّ الۡجَحِيۡمَۙ, ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيۡنَ الۡيَقِيۡنِۙ, ثُمَّ لَـتُسۡـَٔـلُنَّ يَوۡمَٮِٕذٍ عَنِ النَّعِيۡمِ
Bermegah-megahan telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Jangan begitu! Kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu itu. Jangan berbuat begitu! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri. Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan yang diterima ketika di dunia (QS. at-Takatsur [102] : 1-8).
Dikecualikan tentunya jika memperbanyak harta (takatsur) itu dimaksudkan untuk fi sabilillah; banyak berbagi melalui zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah dll. Ini termasuk memperbanyak harta yang dianjurkan bahkan diwajibkan. bahkan kita dibolehkan hasad (ghibthah) kepada orang-orang seperti ini.
Rasulullah saw bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri/dengki (hasad) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta (kekayaan), lalu ia infaqkan pada jalan kebaikan (fi sabilillah) dan orang yang Allah beri karunia ilmu agama (al-Qur`an dan Sunnah), ia memutuskan dengan ilmunya itu untuk mengajarkannya (Shahih al-Bukhari no. 73 dan Shahih Muslim no. 816).
Dengan demikian Rasulullah saw termasuk orang kaya, miskin dan berilmu sekaligus; disebut kaya karena beliau banyak berbagi. Disebut miskin karena hidup beliau sederhana, bersahaja dan tidak memperlihatkan kemewahan duniawi. Yang jelas itu semua dikarenakan ilmu agama Islam yang beliau miliki yang diwahyukan Allah swt, sehingga beliau lebih memilih hidup sederhana daripada hidup hedonis/takatsur.
Semoga kita selaku umatnya mampu meneladani kehidupan beliau. Aamiin
Wal-'Llahul-Musta'an
Komentar
Posting Komentar