Menyikapi PPKM?
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali untuk menekan laju penularan virus corona (Covid-19). PPKM darurat ini berlaku mulai 3 Juli sampai 20 Juli 2021. Penerapan PPKM dilakukan dalam upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Sebab semakin hari, penyebaran gejala Covid-19 semakin meningkat. Akibatnya sebagian ruas jalan di beberapa wilayah ditutup dan menimbulkan berbagai macam pro-kontra… Bagaimana semestinya sikap kita dalam menyikapinya?..
Dalam konteks negara Indonesia tidak diragukan lagi bahwa bapak Ir. H. Joko Widodo atau Jokowi merupakan Ulil-Amri yang sah dan wajib dita'ati rakyat Indonesia (walaupun tidak mutlak seperti keta'atan kepada Allah & Rasul-Nya), tentunya dalam hal yang ma'ruf, bukan dalam perkara maksiat kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
Ta'at kepada Ulil-Amri (pemerintah) adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an dan Sunnah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman! Ta’ati Allah dan ta’ati Rasul dan Ulil-Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” (QS. an-Nisa` [4] : 59)
Apa yang dimaksud Ulil-Amri dalam ayat di atas?
Ulil-Amri dalam ayat di atas ada empat tafsiran dari para ulama, yaitu ada ulama yang berpendapat bahwa mereka adalah penguasa/pemerintah. Ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa ulil-amri adalah para ulama. Dua pendapat lainnya menyatakan bahwa ulil-amri adalah shahabat Nabi saw, juga ada yang menyebut secara spesifik bahwa ulil-amri adalah Abu Bakar dan Umar ra sebagaimana pendapat dari ‘Ikrimah.
Kalau yang dimaksudkan ulil-amri adalah penguasa/pemerintah, maka perintah mereka memang wajib dita'ati selama bukan dalam perkara maksiat. Dalam hadits disebutkan,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan ta'at pada pemimpin/pemerintah tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan keta'atan” (Shahih al-Bukhari, no. 2955)
Syaikh ‘Abdurrahman Ibn Nashir as-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa Allah swt memerintahkan untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul dengan menjalankan perintah keduanya baik yang wajib maupun sunnah serta menjauhi setiap larangannya. Juga dalam ayat disebutkan perintah untuk taat pada ulil-amri. Yang dimaksud ulil-amri di sini adalah yang mengatur urusan umat. Ulil-amri di sini adalah penguasa, penegak hukum dan pemberi fatwa (para ulama). Urusan agama dan urusan dunia dari setiap orang bisa berjalan lancar dengan mena'ati mereka-mereka tadi. Keta'atan kepada mereka adalah sebagai bentuk keta'atan kepada Allah dan bentuk mengharap pahala di sisi-Nya. Namun dengan catatan keta'atan tersebut bukanlah dalam perkara maksiat kepada Allah swt. Kalau mereka memerintah kepada maksiat, maka tidaklah ada keta'atan kepada makhluq dalam bermaksiat kepada Allah swt.
Diutarakan pula oleh Syaikh as-Sa’di bahwa keta'atan kepada Allah swt diikutkan dengan keta'atan pada Rasul dengan mengulang bentuk fi’il (kata kerja) athi’u (ta'atlah). Rahasianya adalah bahwa keta'atan kepada Rasul sama dengan bentuk ketaatan kepada Allah swt. Maksudnya, kalau kita mengikuti dan ta'at pada Rasul berarti kita telah ta'at kepada Allah swt. Sedangkan keta'atan pada ulil-amri disyaratkan selama bukan dalam maksiat. Itulah rahasianya (Taisir al-Karimir-Rahman, hlm. 183-184).
Kewajiban untuk berbai’at menyatakan tunduk dan patuh kepada pemimpin disabdakan Nabi saw dalam beberapa hadits lainnya, di antaranya:
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ: دَعَانَا النَّبِيُّ ﷺ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بِوَاحاً، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.
‘Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi saw memanggil kami lalu kami berbai’at kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi bai’at yang beliau ambil dari kami adalah kami berbai’at untuk senantiasa patuh dan taat, dalam keadaan senang dan benci, dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukan pemimpin daripada kami, dan agar kami tidak mencabut urusan kepemimpinan dari yang berhaknya. Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya pegangan yang jelas dari Allah mengenainya.” (Shahih al-Bukhari no. 6533)
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah. Dan siapa yang mati dengan tidak ada bai’at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih Muslim no. 4899).
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memberontak kepada sulthan (pemerintahan muslim) meski sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari no. 7053).
Hadits-hadits di atas ditujukan kepada pemimpin Negara (imam a’zham/khalifah/imam/amir/malik), bukan pemimpin organisasi. Demikian sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab syarah hadits seperti Syarah an-Nawawi dan Fathul-Bari. Maka siapapun orangnya yang muslim harus menyatakan taat kepada pemimpin Negara. Ketaatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama pemimpin Negara tidak kafir. Meski demikian bukan berarti turut membebek begitu saja, kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar tetap harus dijalankan. Imam an-Nawawi misalnya ketika menjelaskan hadits ‘Ubadah di atas menulis:
وَمَعْنَى الْحَدِيث: لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ. وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ. وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِمَعْنَى مَا ذَكَرْته، وَأَجْمَعَ أَهْل السُّنَّة أَنَّهُ لَا يَنْعَزِل السُّلْطَان بِالْفِسْقِ
Makna hadits tersebut: Janganlah kalian melawan kepada para pemimpin Negara dalam kepemimpinan mereka dan jangan pula berontak kepada mereka kecuali jika melihat kemunkaran yang nyata dari mereka, yang kalian mengetahuinya dari kaidah-kaidah Islam. Jika kalian melihat demikian, ingkarilah, dan katakanlah haq di mana saja kalian berada. Adapun berontak dan memerangi mereka maka ini haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin meski para pemimpin itu fasiq zhalim. Hadits-hadits telah jelas menunjukkan makna yang aku jelaskan ini. Ahlus-Sunnah sepakat bahwa kekuasaan tidak boleh digulingkan karena kefasiqan (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi).
Contoh sederhananya, ketika pemerintah menganjurkan untuk menggunakan masker kepada rakyatnya dalam situasi Pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Tentu ini wajib dan harus dita'ati, karena menolak bahaya dengan berhati-hati merupakan ajaran Islam. Menta'atinya merupakan kewajiban dan melanggarnya termasuk kemaksiatan. Termasuk ketika sebagian ruas jalan ditutup maka kita selaku rakyat hanya bisa sami'na wa atha'na, agar mendapat pahala dari Allah swt.
Semoga kita mampu menta'ati seluruh perintah Ulil-Amri dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara maksiat kepada Allah & Rasul-Nya walaupun memang dirasa berat oleh hati.
Wal-'Llahul-Musta'an
Komentar
Posting Komentar