Memperingati Milad, Maulid/Ulang Tahun

Milad, Maulid & Ulang Tahun merupakan istilah yang tidak asing di telinga kita. Istilah ini meniscayakan suatu perayaan, pesta, acara dan beraneka ragam bentuk dalam pelaksanaannya. Mulai dari milad di tataran pemerintah sampai rakyat kecil. Mulai dari milad perusahaan, organisasi, sekolahan, instansi bahkan pribadi. Ketika faktanya milad itu termasuk tasyabbuh; ritual mengekor orang kafir, masih banyak kaum muslimin yang berdalih "ini kan baik, hanya mensyukuri", padahal niat yang baik namun salah dalam cara merupakan amal yang akan ditolak oleh Allah swt. Mereka yang masih merayakannya tidak sadar sudah sedikit-demi sedikit terjerumus mengikuti gaya-gaya orang kafir. Jika orang-orang kafir sudah diikuti kebiasaannya, maka pantaskah masih mengaku umat Nabi Muhammad saw yang jelas-jelas melarang mengikuti mereka? Perayaan ini termasuk pada ranah aqidah. Jika perayaan ini masih kita rayakan maka rusaklah salah satu benteng aqidah kita. Maka dari itu tidak ada jalan lain selain meninggalkannya. 

Yang ada dari merayakan ulang tahun adalah meniru gaya dan perayaan orang kafir. Karena perayaan semisal itu bukanlah perayaan Islam dan tidak kita temukan di masa wahyu itu turun. Para sahabat tak pernah merayakannya. Para tabi’in tak pernah merayakannnya. Para ulama madzhab pun tak pernah menganjurkannya. Perayaan tersebut yang ada hanyalah meniru perayaan orang kafir.
Kalau sudah dibuktikan kalau perayaan itu hanyalah tradisi orang kafir, lalu kita dilarang tasyabbuh (meniru) tradisi mereka, maka merayakannya pun tak perlu.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »

_“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?”_ (HR. Bukhari no. 7319)

Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ ».

_“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”_ (HR. Muslim no. 2669)

An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, _“Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”_ (Syarh Shahih Muslim, 16: 220)

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

_“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami”_ (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ibnu Taimiyah dalam kitab lainnya berkata, _“Sesungguhnya tasyabbuh (meniru gaya) orang kafir secara lahiriyah mewariskan kecintaan dan kesetiaan dalam batin. Begitu pula kecintaan dalam batin mewariskan tasyabbuh secara lahiriyah. Hal ini sudah terbukti secara inderawi atau eksperimen. Sampai-sampai jika ada dua orang yang dulunya berasal dari kampung yang sama, kemudian bertemu lagi di negeri asing, pasti ada kecintaan, kesetiaan dan saling berkasih sayang. Walau dulu di negerinya sendiri tidak saling kenal atau saling terpisah.”_ (Iqtidha’ Ash Shirothil Mustaqim, 1: 549).

Apakah masih mau terus tasyabbuh atau meniru-niru gaya orang kafir? Kapan umat Islam punya jati diri? Kapan umat Islam mau menyatakan dirinya berbeda.

Hukum (merayakan) ulang tahun dalam Islam adalah haram. Karena dalam (perayaan) ulang tahun, mengandung unsur menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan keras,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

_”Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”_ (HR. Abu Dawud, shahih)

Sekarang kita coba menyentuh inti dari jawaban pertanyaan di atas:

Jika ulang tahun yang dirayakan sebagai perayaan biasa (diniati mubah) saja, artinya tidak ada niat ibadah, hukumnya haram, terlebih jika ulang tahun diniatkan sebagai ibadah, lebih parah keharamannya. Karena ulang tahun seperti ini telah:

Pertama, menodai ibadah dengan perbuatan tasyabbuh dengan orang kafir.
Dan jelas, bahwa dosa yang dikerjakan dalam saat-saat ibadah, lebih besar dosanya daripada di luar momentum ibadah.

Kedua, terjatuh pada perbuatan bid’ah.
Karena saat ulang tahun diniatkan sebagai ibadah, maka kegiatan ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bernilai bid’ah. Merayakan ulang tahun apakah ada tuntunannya dari Nabi? Dari Abu Bakr As-Shidiq? Umar bin Khattab? ‘Utsman bin Affan? Ali bin Abi Thalib dan sahabat Nabi lainnya?

63 tahun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia ini. Namun, tak pernah ada riwayat yang menjelaskan beliau merayakan ulang tahun.

Adapun soal puasa sunah senin, Nabi lakukan bukan karena Nabi merayakan ulang tahunnya. Tapi dalam rangka ibadah, mengingat mulianya hari itu. Hari yang dipilih Allah sebagai hari beliau menerima wahyu dan diangkatnya amal.

Beliau bersabda,

فيه ولدت وفيه أنزل علي

_“Di hari Senin itu aku dilahirkan dan aku mendapatkan wahyu.”_ (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda,

تعرض الأعمال يوم الإثنين والخميس، فأحب أن يعرض عملي وأنا صائم

_“Amal ibadah dilaporkan kepada Allah setiap hari Senin dan Kamis. Aku senang jika saat amalku sedang dilaporkan, aku sedang kondisi puasa.”_ (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Sehingga akibatnya, terkena ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

_“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang bukan berasal dari (ajaran) kami, maka amal tersebut tertolak.”_ (HR. Muslim)

مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

_“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah (urusan agama) yang diada-adakan, setiap (urusan agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”_ (HR. An-Nasa’i, shahih)

Saat ulang tahun diungkapkan/dirayakan dengan doa baarakallah fii umrik (semoga Allah memberkahi umurmu), itu lebih kental nilai mubahnya atau ibadahnya? Tentu nilai ibadahnya. Karena nuansa islami dan semua muslim paham, bahwa doa adalah ibadah. Sehingga lengkaplah keburukan pada ulang tahun yang diyakini lebih ‘islami’ ini, keburukan tasyabbuh yang dikemas dengan ibadah. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Tasyabbuh kena, bid’ah pun kena.

Maka, bungkus itu tidak merubah hakikat. Seperti riba yang disebut bunga. Atau suap yang dibahaskan sedekah. Zina yang disebut suka sama suka. Hukumnya tetap sama, haram.

Sama juga seperti ulang tahun yang dibahasakan “baarakallah fii Umrik”.
Fenomena ini pernah disinggung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ليشرَبنَّ ناسٌ من أمَّتي الخمرَ يُسمُّونَها بغيرِ اسمِه

_“Di antara umatku benar-benar akan ada orang yang minum khamr (minuman keras), kemudian ia namai khamr dengan nama selain khamr.”_ (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, shahih)

Benar apa yang dikatakan oleh sebuah kaidah,

الأسماء لا تغيِّر الحقائق

_“Nama/sebutan tidak merubah hakikat.”_

Semoga kita mampu menjauhi segala bentuk tasyabbuh yang haram, termasuk ulang tahun/milad. Aamiin

Wal-'Llahul-Musta'an






 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perumpamaan Dunia dan Akhirat seperti Air Laut dan Jari

Al-Muqarrabun (Sabiqun bil-khairat)

Kisah Wanita Yang Terkena Penyakit Ayan (Epilepsi)