Membahagiakan Sesama
_Apa yang kita lakukan ketika kita mendengar saudara kita sedang kesusahan? kelaparan? atau terlilit utang? pengangguran? atau mendapatkan musibah? Apakah hanya sekedar mendengar beritanya kemudian membicarakan dan memviralkannya? Ataukah kita ikut serta mencari solusi, membantu, meringankan atau memperhatikannya? Sejatinya keimanan seseorang terletak pada sejauhmana kualitas kepeduliannya kepada sesamanya sebagaimana kita ingin diperlakukan sama seperti orang lain yang dibahagiakan_
Kebanyakan kita karena egoisme pribadi, lebih mementingkan diri sendiri. Tidak merasa terenyuh bahkan empati ketika mendengar atau menyaksikan saudara sesama muslim khususnya sedang kesulitan, kebingungan bahkan mendapatkan musibah. Bukannya peduli, malah bersikap acuh dengan kondisi sesamanya. Yang penting dirinya bahagia biar orang lain memikirkan nasibnya sendiri. Padahal Rasulullah Saw menjelaskan keimanan yang sempurna itu dapat diukur sejauhmana kepedulian kita terhadap sesama.
Islam sudah mengajarkan kita untuk saling membantu dan meringankan beban saudara kita, menutupi kejelakan saudara kita, bukan malah mengacuhkannya dan menelantarkannya.
Coba bayangkan jika kita bisa mengangkat kesulitan orang yang kesusahan, mengenyangkan yang lapar, melepaskan orang yang terlilit utang dan membuat orang lain bahagia, Keutamaannya itu lebih baik dari melakukan ibadah i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan penuh. Sungguh ini adalah amalan yang mulia.
Keutamaan orang yang memberi kebahagiaan kepada orang lain dan mengangkat kesulitan dari orang lain disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
_“Allah senantiasa menolong hamba selama ia menolong saudaranya.”_ (Shahih Muslim no. 2699).
Dari Ibn ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ
_“Siapa yang terbiasa membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam kebutuhannya.”_ (Shahih al-Bukhari no. 6951 dan Shahih Muslim no. 2580).
Dari Ibn ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا
_“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfa'at bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.”_ (HR. Thabrani di dalam al-Mu’jam Al Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami’ no. 176).
Lihatlah saudaraku, bagaimana sampai membahagiakan orang lain dan melepaskan kesulitan mereka lebih baik dari i’tikaf di Masjid Nabawi sebulan lamanya!
Al-Hasan al-Bashri pernah mengutus sebagian muridnya untuk membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan. Beliau mengatakan pada murid-muridnya tersebut,
_“Hampirilah Tsabit al-Banani, bawa dia bersama kalian.” Ketika Tsabit didatangi, ia berkata, “Maaf, aku sedang i’tikaf.” Murid-muridnya lantas kembali mendatangi al-Hasan al-Bashri, lantas mereka mengabarinya Kemudian al-Hasan al-Bashri mengatakan,
“Wahai A’masy, tahukah engkau bahwa bila engkau berjalan menolong saudaramu yang butuh pertolongan itu lebih baik daripada haji setelah haji?” Lalu mereka pun kembali pada Tsabit dan berkata seperti itu. Tsabit pun meninggalkan i’tikaf dan mengikuti murid-murid al-Hasan al-Bashri untuk memberikan pertolongan pada orang lain._[1]
Biasakanlah membuat orang lain bahagia dan bantulah kesusahan mereka. Tentunya sekemampuan kita masing-masing. Jangan sampai kita acuk atau abai bahkan tidak peduli terhadap sesama yang sangat membantu uluran tangan kita
Wal-'llahul-Musta'an
Foot Note :
[1] Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 2: 294.
-------
*
Komentar
Posting Komentar