Merayakan Tahun Baru Hijriyah

_Sebagian umat Islam meyakini bahwa Tahun Baru Hijriah harus dirayakan sebagai perayaan keagamaan. Padahal perayaan keagamaan (baca: ‘Id) yang diwenangkan Nabi saw hanya dua, yakni ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha. Di luar itu tidak diajarkan._

Sebagian umat Islam dengan dalih keagamaan meyakini bahwa tahun baru hijriah harus dirayakan karena peristiwa hijrahnya. Keyakinan tersebut tentunya sangat apologetik (mencari-cari alasan), karena pada faktanya _hijrah Rasulullah saw terjadi pada tanggal 2-12 Rabi'ul-Awwal tahun 13 bi'tsah/kenabian, bukan pada awal bulan Muharram_ (al-Buthi, Fiqhus-Sirah, hlm. 176). 
Jadi seandainya dibolehkan, merayakan hijrah nanti di bulan Rabi’ul-Awwal, bukan Muharram.

_Penetapan tahun hijriah itu sendiri bukan dari Nabi saw, meski bulan-bulannya sudah ditentukan oleh al-Qur`an dan Nabi saw_ (QS. at-Taubah [9] : 36-37 dan hadits-hadits terkait penafsiran ayat tersebut). _Penetapan tahun Islam mulai dari hijrah berawal dari kebiasaan waktu itu yang selalu merujukkan persitiwa pada hijrah Nabi saw, yang kemudian diresmikan oleh Khalifah ‘Umar ibn Khaththab_ (Tarikh at-Thabari 2 : 569). Jadi Nabi saw pasti tidak memberikan tuntunan untuk merayakan hari ini.

Motif yang lebih jelas adalah untuk menandingi tahun baru masehi. Dengan kata lain mengekor pada perayaan tahun baru masehi. Meski motifnya bagus untuk menghormati Islamnya, tetapi tetap salah kaprah karena mengekor kaum non-Islam. Nabi saw bersabda: _Siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka_ (Sunan Abi Dawud no. 4031). 

Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam.

Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan menemukan penduduknya merayakan hari Nairuz dan Mihrajan (hari pertama dan tengah tahun kalender matahari), Nabi saw langsung melarangnya: _"Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu ‘Idul-Adlha dan ‘Idul-Fithri."_ (Sunan Abi Dawud bab shalat al-'idain no. 1136). 
Artinya, jangan ada perayaan tahun baru. Yang ada dan dibenarkan hanya ‘Idul-Adlha dan ‘Idul-Fithri.

Dalam kaitan hijrah yang bermakna pindah dari daerah jahiliyyah pada daerah Islam, justru sudah semestinya umat Islam melepaskan semua atribut budaya non-Islam yang jahiliyyah, seperti dicontohkan Nabi saw di atas, bukan malah mentransfernya pada agama Islam.

Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan perhatian pada pergantian waktu, karena justru al-Qur`an sangat memperhatikan waktu. Perhatikan misalnya sumpah-sumpah Allah swt yang menuntut perhatian manusia atas _waktu fajar_ (wal-fajri), _waktu shubuh, (was-shubhi idza tanaffas), _waktu pagi_ (wad-dluha), _waktu siang_ (wan-nahari idza tajalla), _waktu sore_ (wal-'ashri), sampai _waktu malam_ (wal-laili idza yaghsya), dan _waktu sepanjang masa_ (wal-'ashri). Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal yang sudah kita perbuat untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang telah kita kerjakan. 

Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Bahkan yang diperintahkan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan malamnya; sudah sejauh manakah amal shalih yang kita perbuat?

Wal-‘Llahu a’lam bis-shawwab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perumpamaan Dunia dan Akhirat seperti Air Laut dan Jari

Al-Muqarrabun (Sabiqun bil-khairat)

Kisah Wanita Yang Terkena Penyakit Ayan (Epilepsi)