Shafar Bukan Bulan Sial

_Di masyarakat Sunda dan Jawa, bulan Shafar diyakini sebagai bulan sial; bulan sepi dari pembeli atau order bisnis; bulan yang akan mendatangkan kesialan bagi suami istri yang menikah di bulan ini; bahkan ada yang mengatakan bulan penuh musibah dan malapetaka. Benarkah itu?_

Setiap orang Sunda pasti tahu peribahasa _“kokoro manggih mulud”_ (sedang susah lalu tiba bulan Mulud/Rabi’ul-Awwal). Itu karena di bulan Shafar nyaris tidak ada keramaian dan acara-acara besar, yang otomatis berdampak pada sepinya usaha dan rezeki. Sementara bulan Mulud/Rabi’ul-Awwal banyak lagi keramaian, sehingga usaha ramai lagi dan pintu rezeki pun banyak lagi.

Itu adalah satu potret dari adanya keyakinan tentang kesialan bulan Shafar. Di samping itu, bulan Shafar juga diyakini oleh masyarakat Sunda sebagai bulan kawinnya anjing-anjing. Di bulan ini, konon dahulu banyak anjing menggonggong dan itu pertanda anjing-anjing itu sedang kawin. Karena anjing diyakini sebagai hewan najis, maka pernikahan di bulan ini pun diyakini pernikahan yang najis. Sang pengantin pun diyakini telah menikah dengan pola _“kawin anjing”._

Saking dalamnya keyakinan ini tertanam di benak masyarakat, sampai-sampai untuk membuang sialnya, di hari Rabu terakhir Shafar diadakan ritual Rebo Wekasan yang “diislamisasi” dengan slogan “bid’ah hasanah”; shalat 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan al-Falaq-an-Nas 1 kali, lalu berdo’a. Meski diyakini tidak ada dasar dalil yang shahih, tetapi sebagai sebuah “ibadah yang bagus” maka bagus-bagus saja dilaksanakan, sebab intinya berdo’a kepada Allah swt.

Keyakinan tersebut jelas salah kaprah, setidaknya dilihat dari dua hal: Pertama, meski praktiknya diyakini ibadah kepada Allah swt, tetap saja motifnya adalah meyakini adanya sial dan ketidakberuntungan di bulan Shafar. Ini berarti adanya ketakutan pada selain Allah swt, sebab keyakinan adanya sial di bulan Shafar itu bukan dari Allah swt. Nabi saw sendiri sudah menyatakan:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ

_Tidak ada pengalihan penyakit (secara magic atau non-medis), tidak ada kesialan, tidak ada burung hantu (sebagai penyebab sial), tidak ada bulan Shafar (sebagai bulan sial). Dan larilah kamu dari yang menderita kusta sebagaimana kamu lari dari singa (agar tidak tertular, sebab secara medis mungkin menular)_ (Shahih al-Bukhari kitab at-thibb bab fil-judzam no. 5707).

Keyakinan adanya sial seperti ini juga jelas melabrak tauhid, sebab Allah swt sudah sering mengingatkan:

قُل لَّآ أَمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ
            
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah.” (QS. al-A’raf [7] : 188. Ayat semakna dalam QS. Yunus [10] : 49).

Penegasaan _“kecuali yang dikehendaki Allah”,_ menunjukkan tauhid (Allah satu-satunya) dalam hal mendatangkan manfaat dan madlarat. Jangan ada lagi keyakinan adanya madlarat dari bulan Shafar, atau hari Senin, atau no. 13, atau yang lainnya. 

Kedua, ritual Rebo Wekasan sudah masuk wilayah ibadah dan aqidah, karena melibatkan shalat dan keyakinan-keyakinan akan diganjarnya amal dengan pahala. Semestinya, sabda Nabi saw berikut ini dijadikan pegangan:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا ماَ لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

_Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang tidak ada padanya perintah kami, maka itu pasti tertolak_ (Shahih al-Bukhari kitab as-shulh no. 2697; Shahih Muslim kitab al-aqdliyah no. 4589).

Sebagai bagian dari tauhid maka sudah seyogianya semua yang terkait kesialan tidak dilepaskan dari Allah swt. Konsekuensinya, permohonan dan peribadatan pun hanya ditujukan kepada Allah swt sebagaimana telah diajarkan oleh-Nya. Bukan dengan persembahan kepada selain Allah swt seperti ruwatan bumi, sedekah laut, sedekah bumi, dan sebagainya. Bahkan kalaupun ditujukannya kepada Allah swt tetapi caranya tidak sebagaimana diajarkan Allah swt, sebagaimana halnya Rebo Wekasan, maka itupun tetap salah, seperti telah ditegaskan oleh hadits shahih di atas.

Setiap ketidakberuntungan haruslah diyakini berasal dari taqdir Allah swt dan disikapi dengan tawakkal kepada Allah swt.

           فَإِذَا جَآءَتْهُمُ ٱلْحَسَنَةُ قَالُوا۟ لَنَا هَٰذِهِۦ ۖ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا۟ بِمُوسَىٰ وَمَن مَّعَهُۥٓ ۗ أَلَآ إِنَّمَا طَٰٓئِرُهُمْ عِندَ ٱللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ     

_Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui_ (QS. al-A’raf [7] : 131).
 
قَالُوا۟ ٱطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَن مَّعَكَ ۚ قَالَ طَٰٓئِرُكُمْ عِندَ ٱللَّهِ ۖ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُونَ
        
_Mereka menjawab: "Kami mendapat nasib yang sial, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu". Nabi Shalih berkata: "Nasib sialmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji"_ (QS. an-Naml [27] : 47).

Dalam hadits, Nabi saw mengajarkan umatnya agar di setiap ketidakberuntungan datang, segera bertawakkal kepada Allah swt:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ ذُكِرَتِ الطِّيَرَةُ عِنْدَ النَّبِىِّ  فَقَالَ: أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلاَ تَرُدُّ مُسْلِمًا فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ لاَ يَأْتِى بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ

_Dari ‘Urwah ibn ‘Amir, ia berkata: Diperbincangkan tentang kesialan di dekat Nabi saw. Lalu beliau bersabda: “Yang baik itu meyakini adanya nasib baik. Dan jangan sampai keyakinan sial itu menghentikan seorang muslim (dari aktivitasnya). Jika seseorang di antara kalian melihat yang tidak disenangi, katakanlah: “Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau. Tidak ada yang menolak kejelekan kecuali Engkau. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Engkau.”_ (Sunan Abi Dawud bab fit-thiyarah no. 3921)

Kalaupun hendak menyalahkan sesuatu atau seseorang, maka itu hanya diri kita sendiri. Sebab tidak mungkin ada satu kejelekan yang menimpa diri kalau bukan sebab dosa dan kesalahan diri sendiri.

    مَّآ أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدًا

_Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi_ (QS. an-Nisa` [4] : 79).

Dalam hal inilah, Allah swt menegaskan dalam ayat lain:
  
قَالُوا۟ طَٰٓئِرُكُم مَّعَكُمْ ۚ أَئِن ذُكِّرْتُم ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
      
_Utusan-utusan itu berkata: "Kesialan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu menyalahkan kami sebagai penyebab sial)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas"_ (QS. Yasin [36] : 19).

Jadi, di samping meyakini kesialan itu taqdir Allah swt, tetapi juga harus jadi muhasabah terhadap diri sendiri, bahwa tidak mungkin Allah swt sekonyong-konyong memberikan kejelekan untuk hamba-hamba-Nya, selain sebagai ujian dan peringatan atas sikap mereka yang melampaui batas. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shalat al-Fath” Shalat Pembebasan dan Penaklukan Atas Kemenangan

Kisah Wanita Yang Terkena Penyakit Ayan (Epilepsi)