Mari Luruskan Arah Kiblat
_Dalam hadits masyhur tentang orang yang salah shalatnya, sampai Nabi saw memerintahkannya mengulangi shalat tiga kali, Nabi saw menjelaskan letak kesalahannya diantaranya tidak menghadap qiblat, selain tidak benar dan tumaninah dalam gerakan-gerakan shalat._
Rasulullah saw bersabda,
_“Jika kamu berdiri hendak shalat, sempurnakanlah wudlu, lalu mengahadapkanlah ke qiblat dan bertakbirlah …”_ (Shahih al-Bukhari)
_Artinya jika seseorang dalam shalatnya tidak menghadap ke qiblat dengan sengaja (kecuali kalau tidak tahu), maka shalatnya tidak sah dan harus diulang. Artinya juga kalau qiblat sudah dapat diketahui secara akurat arah sebelah mananya, maka shalatnya tidak sah dan harus diulangi._
Umat Islam secara tidak langsung diajarkan Allah SWT untuk tidak banyak protes dalam hal qiblat dan cukup _sami’na wa atha’na_ saja. Sebab Al-Qur’an menyatakan, orang-orang yang banyak memprotes, mempertanyakan dan mempersoalkan qiblat, itu adalah orang-orang _sufaha_ (bodoh, kurang akal). Meski sebutan itu ditujukan kepada orang-orang yahudi, tetapi jelas secara nilai dan norma berlaku juga untuk umat Islam, yakni jangan sampai menirunya.
۞ سَيَقُوۡلُ السُّفَهَآءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلّٰٮهُمۡ عَنۡ قِبۡلَتِهِمُ الَّتِىۡ كَانُوۡا عَلَيۡهَا ؕ قُل لِّلّٰهِ الۡمَشۡرِقُ وَالۡمَغۡرِبُ ؕ يَهۡدِىۡ مَنۡ يَّشَآءُ اِلٰى صِراطٍ مُّسۡتَقِيۡمٍ ١٤٢
_Orang-orang yang kurang akal (bodoh) di antara manusia akan berkata, "Apakah yang memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat) kepadanya?" Katakanlah (Muhammad), "Milik Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus."_ (QS. al-Baqarah [2] : 142)
_Qiblat_ (arti asalnya _“arah menghadap”_) itu sendiri dinyatakan oleh Al-Qur’an adalah arah ke Masjidil-Haram. Dimanapun setiap muslim berada , jika hendak shalat mestilah mengarah secara tepat ke Masjidil Haram.
قَدۡ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِى السَّمَآءِۚ فَلَـنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةً تَرۡضٰٮهَا فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَـرَامِؕ وَحَيۡثُ مَا كُنۡتُمۡ فَوَلُّوۡا وُجُوۡهَكُمۡ شَطۡرَهٗ ؕ
_…Sungguh Kami akan menghadapkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada , hadapkanlah muka kalian ke arahnya…_ (QS. Al-Baqarah [2] :144)
Meski disebut _Masjidil-Haram_ oleh Al-Qur’an, maksudnya adalah _Ka’bah_ dan tempat sekelilingnya. Saat itu belum ada bangunan Masjidil-Haram seperti pada zaman-zaman berikutnya. Jadi ketika disebut Masjidil-Haram, maksudnya adalah Ka’bah. Terlebih sunnah Nabi SAW sendiri ketika shalat di Masjidil Haram, shalatnya menghadap Ka’bah.
Dalam khazanah fiqh, dikenal istilah _‘ainul Ka’bah_ dan _jihatul Ka’bah_. _‘Ainul ka’bah_ maksudnya bentuk konkrit Ka’bah, sementara _jihatul-Ka’bah_ adalah arah Ka’bah. Yang dimaksud dua istilah fiqh tersebut adalah bagi yang mampu melihat _‘ainul Ka’bah_ atau mengetahui berdasarkan penglihatan (bagi yang agak jauh bisa dilihat dari tempat tinggi, atau cara lainnya) seperti penduduk Makkah, maka shalat harus menghadap tepat ke _‘ainul Ka’bah_ atau mengetahui berdasarkan penglihatan seperti yang tinggal diluar Makkah, maka cukup dengan menggunakan patokan _jihatul-Ka’bah._
Fiqh seperti ini didasarkan pada hadits berikut :
_“Apa yang ada diantara timur dan barat itu adalah qiblat_ “(sunan at-Tirmidzi).
Hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ditujukan Rasulullah saw untuk penduduk Madinah atau yang searah dengannya seperti _Syam_ (_Suriah, Palestina_, _Yordania_ dan sekitarnya).
Untuk lebih mudah menentukan qiblat , maka penduduk Madinah tinggal menghadap ke selatan saja. Tidak perlu repot-repot memikirkan apakah mengarah ke selatan satersebut harus agak condong ke sebelah barat atau timur. Pokoknya asal selatan, itu qiblat.
Sebagaimana dijelaskan Ibn ‘Umar, asalkan barat ada di sebelah kanan dan timur di sebelah kiri , maka yang ada di depan itulah qiblat. Kalau dalam konteks Indonesia dimana Ka’bah ada di sebelah barat, berarti asal menghadap barat, apakah barat agak ke utara atau agak ke selatan, itu tidak perlu repot-repot dipikrkan . Pokoknya menghadap barat, itu qiblat. Inilah yang disebut dengan _Jihatul-Ka’bah._
Akan tetapi fiqh ini berlaku bagi penduduk Madinah di zaman Nabi saw yang belum mengetahui secara tepat dimana _‘ainul Ka’bah_, sehingga berlakulah teori _jihatul-Ka’bah_ berdasarkan hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibn Majah di atas.
Untuk zaman sekarang jelas fiqh _jihatul-Ka’bah_ ini tidak bisa dipertahankan, sebab faktanya sudah ada peta dan kompas, Kompas khusus kiblat, GPS yakni _rusydul qiblat_.
Artinya karena _‘ainul Ka’bah_ sudah bisa diketahui secara pasti, maka mau tidak mau, qiblat harus tepat dan akurat. Tidak cukup sebatas menghadap ke barat semata, tetapi barat yang agak bergeser ke sebelah utara kurang lebih 23°. Atau yang lebih jelasnya adalah dengan menggunakan _rusydul qiblat_.
Fiqh _jihatul-Ka’bah_ ini jadinya hanya berlaku dalam situasi dan kondisi tertentu saja, seperti ketika kita sedang berada diluar (rumah/masjid kita) dan tidak membawa kompas/GPS.
_Rusydul qiblat_ diketahui dengan memperhatikan arah bayangan matahari pada tanggal 27 Mei jam 16:18 wib.
Caranya, _pertama_ gunakan tongkat atau yang semacamnya, lalu tancapkan tongkat tersebut diatas tanah pada jam 16:18wib tanggal 27 Mei. Perhatikan dengan seksama arah bayangan tongkat tersebut, maka tongkat itulah arah qiblat. Sedangkan bayangan yang memanjang , itulah arah menghadap kita yang semestinya ketika shalat.
_Kedua_, bagi yang kusen rumah/masjidnya menghadap ke barat, maka sinar matahari/bayang-bayang kusen itulah arah qiblat.
Catatan Tambahan :
_Rusydul-qiblat_ juga bisa dilakukan pada tanggal 16 Juli jam 16:27, sebab pada tanggal dan jam tersebut matahari juga tepat berada diatas Ka’bah.
Wal-'Llahu a'lam bis-shawab
Komentar
Posting Komentar